Analisis Gimana Coklat Silverqueen Bisa Bertahan Lebih dari 70 Tahun
Coklat Silverqueen – Sebagai seorang desainer grafis yang udah cukup sering ngulik proses branding dari nol sampai jadi, saya selalu penasaran dengan satu pertanyaan besar: gimana caranya brand bisa bertahan lama, bahkan sampai puluhan tahun, tanpa harus ganti logo, nama, atau jati diri mereka?
Contoh paling menarik? Ya coklat Silverqueen.
Udah lebih dari 70 tahun, tapi logo-nya ya gitu-gitu aja. Strateginya? Nah, itu yang selalu berubah. Di artikel ini saya akan coba bahas analisis gimana Silverqueen bisa survive di pasar Indonesia selama itu, dan apa aja pelajaran branding yang bisa kita contek buat brand kita sendiri.
Daftar Isi
ToggleBranding Nggak Harus Ganti Logo, Tapi Ganti Strategi
Dari analisis saya, strategi branding ga melulu soal logo tapi sebagai berikut ini.
Konsistensi Jati Diri = Kunci Awet
Kalau kamu tanya, “Kenapa Silverqueen nggak pernah ganti logo?” Jawaban simpelnya: nggak perlu.
Buat apa ganti kalau brand equity-nya udah kuat banget? Malah bisa blunder kalau dipaksakan.
Silverqueen konsisten dengan jati dirinya sebagai coklat isi kacang mete. Inilah yang jadi benang merah dari semua inovasi produk mereka. Mulai dari versi original, coklat putih, dark chocolate, hingga isi kismis atau almond — semuanya tetap mengacu pada ide besar: coklat dengan isi.
Nama yang Mengelabui Tapi Efektif
Nah, ini menarik. Nama Silverqueen tuh sebenernya bisa dibilang “jebakan betmen” branding.
Coba bayangin kalau dulu mereka kasih nama “Ratu Perak”. Beda banget rasanya kan? Mungkin jadi kayak produk hadiah arisan. Tapi karena namanya pakai bahasa Inggris, masyarakat Indonesia langsung nganggepnya keren, modern, dan punya vibes internasional.
Branding itu bukan cuma soal logo, tapi juga persepsi.
Dan ini pun sejalan dengan metode branding dalam menentukan nama. Karena nama ini adalah salah satu bagian identitas awal yang harus didapatkan, bahkan sebelum logo dibuat.
Strategi Marketing yang Tetap Adaptif
Secara umum yang telah saya analisis dan bisa kita pelajari adalah sebagai berikut ini.
Desain Kemasan: Simple Tapi Ngegas
Kemasan Silverqueen itu sebenarnya simpel banget: kertas pembungkus luar dengan dominasi warna coklat muda dan merah, plus inner layer dari alumunium foil. Tapi justru di situlah kekuatannya.
Foil-nya menjaga kualitas coklat biar nggak gampang leleh. Sementara visual luarnya langsung to the point: gambar kacang mete dan logo “Silverqueen” yang konsisten selama puluhan tahun. Gak neko-neko. Gak ribet. Tapi langsung kena.
Konsumen Dulu & Sekarang
Di tahun 1950-an, segmen pasar untuk coklat ya jelas: semua orang yang suka manis. Tapi sekarang? Udah terbagi jadi banyak niche: yang suka dark chocolate, yang concern sama kandungan gula, yang cari varian vegan, dan seterusnya.
Silverqueen sadar banget sama hal ini. Makanya sekarang mereka aktif bikin kolaborasi — entah sama ilustrator lokal, campaign di hari Valentine, sampai edisi-edisi spesial yang ngena banget di hati pasar anak muda.
Mendengar Masalah = Menemukan Solusi
Dulu, masalah utamanya: coklat gampang meleleh di suhu Indonesia.
Solusinya? Tambah kacang mete. Bukan cuma bikin teksturnya lebih menarik dan renyah, tapi juga bikin coklat nggak gampang leleh dan bisa dinikmati lebih lama.
Kenapa kacang mete, bukan kacang tanah? Karena kacang mete lebih empuk, ukurannya pas, dan yang penting: lebih eksklusif secara persepsi. Ini strategi yang jenius, karena solusi produk akhirnya jadi unique selling point.
Adaptif Tapi Nggak Asal Tren
Masuknya kompetitor seperti Cadbury, Van Houten, Toblerone jelas bikin persaingan makin panas. Tapi Silverqueen tetap tenang. Mereka nggak latah bikin produk asal-asalan, tapi pelan-pelan ngembangin lini produk turunan yang sesuai karakter mereka.
Contohnya? Silverqueen Bites, Silverqueen Chunky Bar, atau kolaborasi kemasan ilustrator lokal. Bukan cuma ikut-ikutan, tapi tetap dalam jalur mereka sebagai coklat isi yang punya keunikan tersendiri.
Pelajaran Penting Buat Kita Para Pelaku Brand
Sebagai desainer grafis yang suka bantu klien bangun brand dari awal, saya belajar banyak dari kasus Silverqueen ini. Apa aja?
- Mulai dari jati diri brand — bukan cuma desainnya, tapi purpose-nya.
- Bikin nama yang bisa diterima pasar, bahkan kalau harus “menipu dikit” pake nuansa asing.
- Konsistensi visual penting banget. Logo teks bisa bertahan kalau pesannya kuat.
- Responsif sama masalah konsumen. Dengarkan keluhan, lalu ciptakan solusi yang punya nilai jual.
- Adaptif, tapi tetap punya filter. Jangan semua tren diikutin, fokus pada yang relevan dan memperkuat brand equity.
Dan satu lagi: branding bukan soal instan. Silverqueen aja butuh waktu puluhan tahun buat sampai di titik ini. Jadi buat kamu yang baru mulai bangun brand, santai aja, tapi tetap strategis.
Branding Adalah Maraton, Bukan Sprint
Coklat Silverqueen membuktikan bahwa branding yang kuat bukan hasil dari gonta-ganti logo atau ikut-ikutan tren. Tapi dari strategi yang konsisten, adaptif, dan fokus pada solusi nyata.
Kalau kamu lagi bangun brand (atau bantuin klien bangun brand), belajar dari Silverqueen bisa jadi salah satu studi kasus terbaik. Karena mereka bukan cuma sukses jualan coklat — tapi juga membangun warisan brand yang panjang umur.
Dan siapa tahu, brand kamu berikutnya yang bakal bertahan sampai 70 tahun lebih.
Semangat branding, jangan lupa makan coklat! 🍫
Penulis
reziart
Reza Pahlevi, juga dikenal sebagai reziart, adalah seorang penulis dan desainer grafis di Vectorinesia.com. Dia adalah pemilik Vectorinesia Studio dan Toko Amanasnack. Cita-citanya adalah membuat UMKM Indonesia memiliki brand visual yang keren dan bersaing global. Misi utamanya adalah memberikan jasa desain logo terjangkau melalui Jasa Desain Logo di Studio Vectorinesia. Reza memiliki pengalaman dalam menjual aset grafis di berbagai website microstock terkenal.

