Logo Autisme: Antara Simbol, Makna, dan Kesadaran yang Terlambat Kita Pahami
logo autisme – Selama saya berkecimpung di dunia microstock, saya mulai menyadari banyak hal yang mungkin tidak semua desainer lokal pahami. Salah satunya adalah pentingnya membuat konten evergreen — konten yang relevan sepanjang waktu.
Awalnya saya cuma mikir sederhana: bikin desain berdasarkan tanggal penting dunia. Sesuatu yang pasti muncul tiap tahun. Misalnya, World Autism Awareness Day atau Hari Peduli Autisme Sedunia. Tapi ya, saya bukan ahli kesehatan. Saya cuma desainer grafis yang kebetulan penasaran, dan rasa penasaran itu kadang lebih besar dari rasa malas (kadang, ya).
Waktu itu, informasi soal autisme di Indonesia belum seluas sekarang. Komunitasnya belum banyak, pembahasan tentang simbol dan representasi juga nyaris nggak ada. Jadi saya harus belajar sendiri: apa sih sebenarnya simbol yang digunakan dalam peringatan autisme? Dan dari situ, saya menemukan banyak hal menarik — dan cukup mengejutkan.
Daftar Isi
ToggleSimbol Puzzle: Ikon yang Dulu Diterima, Sekarang Dipertanyakan
Kalau kamu googling soal logo autisme, kemungkinan besar kamu akan menemukan simbol puzzle berwarna biru atau warna-warni. Simbol ini memang sudah dikenal sejak 1963, awalnya digunakan oleh National Autism Society di Inggris, lalu dipopulerkan lagi oleh organisasi besar di Amerika bernama Autism Speaks.
Nah, di sinilah ceritanya mulai rumit.
Beberapa tahun lalu saya baca artikel dari Paula Jessop, seorang autistik dan penasihat dari organisasi Altogether Autism. Dia menulis bahwa banyak penyandang autisme nggak suka dengan simbol puzzle.
Kenapa? Karena menurut mereka, puzzle itu seolah menggambarkan autisme sebagai “misteri yang perlu dipecahkan” atau bahkan “sesuatu yang hilang dari diri seseorang”.
Masalah tambah besar karena kampanye Autism Speaks dulu memang cenderung menggambarkan autisme seperti penyakit yang “harus disembuhkan”. Bahkan, sempat ada iklan kampanye yang bikin orang autistik merasa diserang secara emosional — ya, selevel itu.
Sebagai desainer, saya sempat bengong juga. Saya pikir, “Lho, bukannya puzzle itu lucu ya? Kan warnanya cerah.” Tapi ternyata konteksnya jauh lebih dalam.
Jadi, di kalangan komunitas autistik, simbol puzzle sekarang banyak dianggap mewakili masa kelam kampanye kesadaran yang salah arah — yang melihat autisme sebagai tragedi, bukan keberagaman.
Dari Puzzle ke Infinity: Pergeseran Simbol yang Lebih Inklusif
Nah, kalau bukan puzzle, terus apa?
Saya pun menemukan simbol lain yang lebih “modern” dan banyak dipakai belakangan ini — yaitu simbol infinity pelangi (rainbow infinity).
Simbol ini pertama kali digunakan sekitar tahun 2005 oleh para aktivis neurodiversity. Ide dasarnya sederhana tapi kuat: spektrum warna pelangi menggambarkan keberagaman dalam spektrum autisme, sementara bentuk infinity melambangkan kesinambungan dan keberlanjutan kehidupan para penyandang autisme di masyarakat.
Berbeda dengan puzzle yang terkesan “ada yang hilang”, simbol infinity ini lebih positif. Ia bicara soal penerimaan dan pemahaman, bukan pencarian solusi dari sesuatu yang dianggap rusak.
Sebagai desainer, saya langsung merasa klik. Dari sisi visual, bentuk infinity itu fleksibel banget buat diolah ke berbagai gaya desain: minimalis, flat, gradient, bahkan versi 3D. Dan maknanya pun terasa lebih universal — nggak menyinggung siapa pun.
Ada juga beberapa simbol lain seperti kupu-kupu (melambangkan transformasi) atau warna biru dari kampanye Light It Up Blue. Tapi tentu saja, semuanya kembali ke konteks dan preferensi komunitas masing-masing. Tidak ada satu simbol yang bisa merepresentasikan seluruh spektrum autistik — dan menurut saya, itu justru keindahannya.
Belajar dari Perspektif Orang Lain
Jujur aja, waktu pertama kali riset soal ini, saya sempat bingung: “Jadi, simbol mana yang benar?”
Puzzle? Infinity? Atau malah butterfly?
Sebagai orang yang datang dari latar belakang desain visual, saya sadar bahwa makna simbol sering kali lahir dari siapa yang menggunakannya dan untuk apa. Sama kayak logo perusahaan — desainnya bisa bagus banget, tapi kalau brand-nya punya sejarah buruk, persepsi publik juga ikut rusak.
Dari situ saya belajar bahwa membuat logo autisme bukan cuma soal bentuk, tapi juga soal empati.
Kita perlu tahu sejarah di balik simbol itu, siapa yang menggunakannya, dan bagaimana perasaan mereka yang diwakili simbol tersebut.
Saya bukan aktivis, tapi saya desainer. Dan menurut saya, memahami konteks seperti ini adalah bagian dari profesionalisme.
Perspektif Desainer: Antara Tren, Etika, dan Kebebasan Kreatif
Kadang ada dilema juga. Di dunia microstock, saya melihat bahwa simbol puzzle masih sering dipakai dan masih laku. Platform seperti Shutterstock, Adobe Stock, Dreamstime, sampai Depositphotos — masih banyak stok logo autisme dengan elemen puzzle.
Dan sejauh aturan mereka tidak melarang, ya sah-sah saja. Tapi saya pribadi mulai memilih arah yang lebih netral: menggunakan rainbow infinity, kombinasi warna hangat, atau bentuk organik yang lebih “manusiawi”.
Masalahnya, banyak desainer di Indonesia masih menganggap riset seperti ini buang waktu. Padahal justru di situlah bedanya antara desainer biasa dan desainer yang peka konteks.
Saya sadar, kelemahan kita ada di budaya literasi visual dan konseptual yang masih rendah. Padahal, kalau kita mau sedikit saja baca, pahami, dan riset seperti ini, hasil desain kita bisa jauh lebih kuat — bukan cuma cantik di mata, tapi juga tepat di makna.
Jadi, Logo Autisme Itu Seharusnya Seperti Apa?
Menurut saya, jawabannya bukan “seharusnya begini” atau “harus begitu”.
Tapi lebih ke: “apakah simbol ini menghormati orang yang diwakilinya?”
Kalau jawabannya iya — berarti kamu di jalur yang benar.
Kalau tidak, mungkin kita perlu mundur selangkah dan pikir lagi.
Sebagai desainer, tugas kita bukan cuma menggambar, tapi juga menerjemahkan makna dengan empati dan kejujuran visual.
Dan ya, kadang kita harus rela membaca artikel panjang dalam bahasa Inggris, cuma untuk tahu kenapa satu simbol bisa dianggap ofensif. Capek? Iya. Tapi hasilnya? Worth it.
Penutup: Dari Logo ke Makna, dari Desain ke Kesadaran
Logo autisme bukan sekadar proyek desain. Ia adalah jembatan antara dunia visual dan dunia kesadaran sosial.
Mungkin kita tidak akan pernah bisa benar-benar memahami pengalaman autistik, tapi setidaknya kita bisa berkontribusi dengan cara yang paling kita kuasai: desain yang peka dan bermakna.
Kalau kamu juga ingin punya logo dengan nilai seperti itu — entah untuk kampanye sosial, brand pribadi, atau organisasi — kamu bisa menghubungi saya di Vectorinesia.
Klik tombol di bawah, biar saya bantu wujudkan ide kamu jadi visual yang beretika dan keren (nggak sekadar “wah, ini cakep nih” tapi juga “wah, ini bermakna”).
Karena, di akhir hari, logo yang bagus bukan yang sekadar terlihat indah, tapi yang bercerita dengan empati.
FAQ
1. Apa makna sebenarnya dari simbol puzzle dalam logo autisme?
Simbol puzzle awalnya digunakan oleh National Autism Society di Inggris pada tahun 1963 untuk menggambarkan kompleksitas autisme. Namun, seiring waktu, banyak penyandang autisme menganggap simbol ini bermakna negatif karena seolah menandakan bahwa mereka “kurang lengkap” atau “perlu diperbaiki.” Akibatnya, simbol puzzle kini dianggap kontroversial di komunitas autistik.
2. Mengapa simbol infinity pelangi lebih disukai oleh komunitas autistik saat ini?
Simbol rainbow infinity dianggap lebih inklusif karena menekankan keberagaman dan kesinambungan hidup para penyandang autisme. Warna pelangi mewakili spektrum autistik yang luas, sementara bentuk infinity melambangkan penerimaan tanpa batas — jauh dari kesan “puzzle” yang terpecah.
3. Apakah desainer grafis masih boleh menggunakan simbol puzzle untuk logo autisme?
Secara teknis boleh, apalagi jika digunakan untuk tujuan edukasi atau kampanye yang positif. Namun, sangat disarankan untuk memahami konteks sejarahnya terlebih dahulu. Desainer yang peka akan memilih simbol yang tidak menyinggung pihak mana pun — misalnya infinity atau bentuk organik lain yang netral secara makna.
4. Apakah ada aturan khusus dalam membuat logo bertema autisme di platform microstock seperti Shutterstock atau Adobe Stock?
Tidak ada larangan resmi selama desain tidak mengandung unsur diskriminatif atau menyesatkan. Namun, penting untuk memperhatikan sensitivitas komunitas global. Di dunia microstock, desain yang menghormati konteks sosial biasanya lebih diterima dan memiliki peluang unduhan lebih tinggi.
5. Bagaimana cara membuat logo autisme yang etis namun tetap menarik secara visual?
Gunakan pendekatan empati visual — riset dulu makna simbol, warna, dan sejarah di baliknya. Pilih palet warna hangat, hindari simbol yang bermasalah secara historis, dan fokuslah pada pesan inklusivitas. Kalau ingin hasil yang profesional dan bermakna, kamu bisa bekerja sama dengan desainer berpengalaman yang memahami konteks sosial, seperti saya di Vectorinesia.
📚 Referensi
- Paula Jessop, “Autism No Puzzle, Nothing Wrong With Us”, Altogether Autism (2019).
- “Symbols for Autism: What Do They Mean?” — Autism Parenting Magazine (2022).
Artikel – logo autisme
Penulis
reziart
Reza Pahlevi, juga dikenal sebagai reziart, adalah seorang penulis dan desainer grafis di Vectorinesia.com. Dia adalah pemilik Vectorinesia Studio dan Toko Amanasnack. Cita-citanya adalah membuat UMKM Indonesia memiliki brand visual yang keren dan bersaing global. Misi utamanya adalah memberikan jasa desain logo terjangkau melalui Jasa Desain Logo di Studio Vectorinesia. Reza memiliki pengalaman dalam menjual aset grafis di berbagai website microstock terkenal.

